Sabtu, 09 Januari 2016

Hukum Syara'



HUKUM SYARA’
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Amin Farih M.Ag


Oleh:
Siti Munawaroh (133511026)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia di ciptakan oleh Allah SWT dengan bentuk yang baik dan berbeda-beda, baik segi pemikiran, fisik dan lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia tentunya ingin mendapat ketentraman dan kenyamanan. Maka di perlukan suatu aturan atau norma yang mengatur tata kehidupan manusia yang di ambil dari ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, Allah telah menurunkan ketentuan-ketentuan untuk mengatur hidup manusia, baik masalah agama maupun bermasyarakat agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Fungsi hukum telah di nyatakan tegas oleh Allah dalam surat An Nisa ayat 105 :
yang artinya;
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”

                        Disini penulis akan memaparkan materi tentang salah satu hukum yang ada dalam Islam yaitu hukum syara’ (hukum (peraturan) yang mengatur tingkah laku manusia untuk menuju jalan Allah).




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum syara’?
2.      Bagaimana pembagian hukum  syara’?
3.      Siapakah yang menjadi pembuat hukum (Hakim)?
4.      Apa saja yang menjadi objek hukum  (Mahkum Bih)?
5.      Siapakah yang menjadi subjek hukum (Mahkum Alaih)?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “Hukum” dan “Syara’ ”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab yang berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Secara istilah kata hukum berarti seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kata syara’ secara etimologi berarti jalan, jalan yang biasa dilalui air. Secara terminologi syara’ adalah suatu jalan yang dilalui hanya menuju pada Allah SWT. [1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,  hukum adalah peraturan yang di buat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak, yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.
Di dalam kamus ushul fiqih syara’ (syari’) di artikan dzat yang menetapkan hukum secara deklaratif di susun untuk kehidupan individu dan masyarakat di dunia.
Jika kedua kata tersebut dirangkai menjadi hukum syara’ dapat di artikan sebagai seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam.
حكم شرعى هوخطا ب الله المتعلق بافعل المكلفين بالاقتضاء اوالتخيير او الوضع       
“Hukum Syar’i adalah khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang  mukalaf yang berupa tuntutan (perintah dan larangan), anjuran untuk melakukan, atau anjuran untuk tidak melakukan. Atau takhyiri (kebolehan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan), atau wadh’i (menetapakan sesuatu)”[2]

Menurut ahli fiqih hukum syara’ adalah khitab (titah) Allah yang menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tuntutan, ketentuan-ketentuan dan  pilihan berbuat atau tidak.

B.     Pembagian Hukum Syara’
Menurut ahli ushul fiqih baik yang klasik maupun kontemporer membagi hukum syara’ menjadi dua, yaitu:
1.      Hukum Taklifi
Hukum taklifi yaitu titah Allah yang berhubungan dengan tuntutan dan pilihan berbuat, yang terinci dalam hukum wajib, nadab, mubah, makruh, dan haram. Dinamakan dengan hukum taklifi karena tuntutan disini berkenaan dengan perbuatan mukalaf yang melaksanakannya.[3]
Hukum taklifi di bagi menjadi lima macam yaitu:[4]
a)    Wajib
            Wajib yaitu khitab syara’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan mendapat pahala, jika meninggalkannya akan mendapat dosa atau siksa, misalnya kewajiban sholat.
            Diliahat dari segi pelaksanaannya, wajib di bagi menjadi dua yaitu wajib mutlaq (kewajiban yang tidak dibatasi dengan waktu tertentu) dan wajib muaqqat (kewajiban yang pelaksanaanya di batasi oleh waktu tetentu).

b)    Mandhub
Mandhub atau disebut juga dengan sunah yaitu khitab syara’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan, dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. Orang yang melakukan perkara yang sunah akan mendapat pahala, dan jika meninggalkannya tidak mendapat dosa. Misalnya puasa senin kamis.
Menurut Abdul Karim, mandhub di bagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1)   Mandhub/ sunah muakadah (sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan Rosulullah, dan jarang ditinggalkannya, seperti sholat sunah dua rakaat sebelum fajar.
2)   Mandhub/ Sunah ghoiru muakadah (biasa), yaitu suatu perbuatan yang dilakukan Rosulullah, namun bukan menjadi kebiasaan, seperti sholat sunah 2 kali 2 rakaat sebelum sholat dhuhur.
3)   Mandhub/ sunah al zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rosulullah sebagai manusia, seperti sopan santun dalam makan, minum dan tidur.

c)    Haram
Haram adalah khitab syara’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Orang yang melakukan perkara haram akan mendapat dosa atau siksa, jika meninggalkannya akan mendapat pahala, misalnya membunuh.
Haram terbagi menjadi dua macam yaitu:
1)      Haram lidzatih, yaitu sesuatu yang keharaman melakukannya telah di tetapkan oleh syara’ sejak semula, sebab mengandung kemudharatan, seperti larangan zina.
2)      Haram lighoirih, yaitu sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syara’ keharamannya, jual beli dengan menipu.

d)   Makruh
Makruh yaitu khitab syara’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Orang yang melakukan perkara makruh tidak mendapat dosa, sedang orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Menurut ulama Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)   Makruh tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, seperti meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain.
2)   Makruh tanzih, yaitu sesutu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging dan susu kuda diwaktu perang, karena sesungguhnya memakan daging kuda menurut ulama hanafiyah adalah haram, tapi karena dalam kedaan perang, hukumnya menjadi makruh.

e)    Mubah
Mubah yaitu khitab syara’ yang mengandung hak pilihan bagi orang mukalaf, antara mengerjakan dan meninggalkannya. Orang melakukan perkara mubah maupun meninggalkannya tidak mendapat pahala dan dosa, misalnya berburu setelah haji.

2.      Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu titah Allah yang tidak langsung dengan perbuatan mukalaf tetapi berisi ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf.
Hukum wadh’i terbagi menjadi 3 macam, yaitu sebab, syarat dan mani’. Akan tetapi sebagian ulama Ushul fiqh mengatakan bahwa hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani’, Rukshoh dan azimah. Ada juga yang membagi hukum wadh’i menjadi 7 macam. Berikut ini akan di paparkan  7 macam wadh’i tersebut yaitu:[5]
a)      Sabab
Menurut para ahli fiqih sabab adalah sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Misalnya masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang jelas dan dapat diukur, apakah bulan Ramadhan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan Ramadhan disebut sebab, sedangkan datangnya kewajiban berpuasa disebut musabab atau hukum (akibat).
b)      Syarat
Menurut bahasa syarat berarti sesuatu yang menghendaki sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Menurut istilah Abdul Karim mendefinisikan syarat adalah sesuatu yang tergantung kepada adanya sesuatu yang lain, dan berada di luar hakikat sesuatu itu. Misalnya syarat sholat adalah wudhu, wudhu bukan masuk pada hakikat sholat karean sholat di mulai dari takbiratul ihram sampai salam.
c)      Mani’
Mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Sedangkan menurut terminologi mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. Misalnya akad nikah menjadi sebab waris mewarisi, dan waris menjadi terhalang karena pembunuhan, sehingga membunuh menjadi penghalang bagi seseorang untuk saling mewarisi.
d)   Rukshoh
Rukshoh yaitu ketentuan yang di syariatkan oleh Allah sebagai peringan terhadap seorang mukalaf dalam hal-hal yang khusus. Seperti memakan bangkai yang di haramkan, jika dalam keadaan dhorurot maka memakan bangkai itu di perbolehkan.
e)      Azimah
Azimah yaitu peraturan syara’ asli yang berlaku umum, artimya di syariatkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukalaf, dalam keadaan yang biasa seperti kewajiban puasa Ramadhan.
f)       Shah
Shah adalah jika suatu perbuatan itu telah sesuai dengan tuntutan syariat dan telah sempurna rukun dan syaratnya. Contohnya orang berpuasa yang telah menahan diri dari makan dan minum sejak fajar sampai terbenamnya matahari, maka puasanya dikatakan shah.[6]
g)      Bathal
Bathal dalam bahasa Indonesia disebut dangan istilah batal yaitu kebalikan dari syah. Bathal juga mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa bathal itu digunakan :
1.        Bathal digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan didunia.” Arti ini berbeda beribadat dalam  muamalah dan akad. Arti bathal dam ibadat adalah bahwa ibadat itu tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qodho.
Ibadat dikatakan bathal jika menyalahi tujuan syar’i (pembuat hukum) dalam menetapkan amalan itu. Menyalahi maksud syara’ itu kadang-kadang mengenai materi ibadat itu sendiri seperti tidak cukup rukun dan syaratnya atau terdapat mani’, kadang –kadang mengenai sifat luar yang terlepas darinya, seperti solat yang dilakukan ditempat yang dirampas. Dalam bentuk yang terlepas ini salat dipandang syah karena telah sesuai maksud syar’i.
Muamalat dikatakan bathal jika tidak tercapai arti atau faidah yang diharapkan darinya secara hukum yaitu adanya peralihan hak milik atau menghalalkan hubungan yang semula haram. Menurut biasanya hal-hal yang mengenai muamalah atau akad itu menyangkut kepentingan didunia, oleh karenanya pembicaraan disini memperhitungkan dua hal , pertama dari segi perbuatan itu termasuk hal-hal yang di izinkan atau disuruh oleh syari’, kedua dari segi kembalinya kepada kepentiingan hamba (manusia).
2.        Bathal digunakan untuk “ tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di akhirat yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya bekas dari perbuatan bisa terjadi dalam beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a.       Perbuatan itu dilakukan tanpa sengaja, seperti perbuatan orang tidur.
b.      Perbuatan itu dilakukan hanya semata-mata mencari tujuannya yaitu pahala.
c.       Perbuatan itu dilakukan sesuai yang dikehendaki tapi dalam bentuk keterpaksaan.
d.      Perbuatan itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki dalam bentuk ikhtiyari seperti seseorang melakukan suatu perbuatan mubah sesudah diketahuinya bahwa itu mubah, hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan dilakukannya.[7]  

C.    Pembuat Hukum (Hakim)
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum” , sedangkan secara terminologi dalam kajian ushul fiqih berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.[8]
 Dalam pengertian Islam pembuat hukum adalah Allah SWT. Dia telah menciptakan manusia di atas bumi, menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia baik hubungannya untuk kepentingan dunia maupun akhirat, menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun manusia dengan sesama makhluk hidup di sekitarnya.
Sebagaimana firman Allah, bahwa Dialah pembuat hukum satu-satunya yang hakiki dari hukum syariat, surat Al An’am ayat 57
 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".

                        Penamaan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum atau syara’ adalah “pembuat hukum” secara hakiki atau dalam arti sebenarnya, teoritis dan praktis. Namun dalam kenyataanya, ditemukan pula pihak lain yang juga menetapkan hukum yaitu nabi Muhammad sendiri dan para mujtahid. Nabi menetapkan hukum syara’ baik dalam keadaan yang mandiri di luar yang ditetapkan Allah atau dalam sifat penjelas terhadap hukum yang di tetapkan Allah. Mujtahid pun secara praktis menetapkan hukum melalui hasil ijtihadnya dengan berpedoman kepada hukum yang ditetapkan Allah. Keduanya dapat pula disebut pembuat hukum atau syari’ dalam arti majazi atau bukan dalam arti sebenarnya. Nabi disebut syari’ dalam arti penjelas terhadap hukum syara’ dan mujtahid disebut syari’ dalam arti penemu atau perumus hukum syara’.[9]
                       
D.    Objek Hukum (Mahkum Bih)
Objek hukum atau mahkum bih yaitu sesuatu yang di kehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau di biarkan oleh pembuat hukum untuk di lakukan atau tidak. Dalam istilah ulama ushul fiqih objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri , hukum itu berlaku pada perbuatan bukan pada dzat. Misalnya “daging babi”, pada daging babi itu tidak berlaku hukum baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi” yaitu suatu perbuatan memakan buat pada dzat daging itu.[10]
Mahkum Bih bisa juga di artikan sebagai perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syara’, misalnya seperti kewajiban memenuhi janji.[11]

E.     Subjek Hukum (Mahkum Alaih)
Mahkum alaih ialah orang-orang mukalaf yang dibebani hukum.
محكم عليه هو الشخص الذي تعلق خطاب الشارع بفعله ويسميه
“Mahkum Alaih adalah orang-orang yang berhubungan dengan khitob syariat dalam perbuatan dan tingkah lakunya”[12]
Adapun syarat sahnya seorang mukalaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yaitu:
1.      Memahami atau mengetahui titah Allah yang menyatakan bahwa seseorang terkena tuntutan dari Allah, yang terkandung dalam al Quran dan as Sunah.
2.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi seorang mukalaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak oleh para ulama ushuliyyun di bagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang umtuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia.
2.      Ahliyatul ada’, yaitu kepantasan seseorang untuk di pandang syah segala perkataan dan perbuatannya.
Namun demikian ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk melaksanakan hak dan kewajiban, tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi yang disebut dengan awaridh ahliyah.
Awaridh ahliyah ada dua macam, yaitu pertama samawiyah (hal yang berada di luar usaha dan ikhtiar manusia) seperti gila, tidur, menstruasi, nifas, meninggal dan sebagainya. Kedua, Kasabiyah (perbuatan yang di usahakan manusia yang menghalangi atau mengurangi kemampuan bertindak) seperti mabuk.


BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam.
Menurut ahli ushul fiqih baik yang klasik maupun kontemporer membagi hukum syara’ menjadi dua, yaitu:
1.      Hukum Taklifi yaitu titah Allah yang berhubungan dengan tuntutan dan pilihan berbuat, yang terinci dalam hukum wajib, nadab (mandhub), makruh, mubah dan haram.
2.       Hukum Wadh’i yaitu titah Allah yang tidak langsung dengan perbuatan mukalaf tetapi berisi ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf. Ulama Ushul fiqh mengatakan bahwa hukum wadh’i terbagi menjadi 7 macam yaitu sebab, syarat, mani’, Rukshoh, azimah, shah, bathal.
Hakim adalah pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki (Allah SWT).
Mahkum Bih yaitu perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syara’, misalnya seperti kewajiban memenuhi janji.
Mahkum alaih ialah orang-orang mukalaf yang dibebani hukum. Adapun syarat sahnya seorang mukalaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yaitu:
1.      Memahami atau mengetahui titah Allah yang menyatakan bahwa seseorang terkena tuntutan dari Allah, yang terkandung dalam al Quran dan as Sunah.
2.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi seorang mukalaf adalah akal dan pemahaman.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern,  Jakarta : Amani, 2000.
Aripin, Jaenal, Kamus Ushul Fiqh dalam Dua Bingkai Ijtihad, Jakarta : Kencana, 2012.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2014.
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh,  Jakarta : PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Rosyada, Dede,  Hukum Islam dan Pranata Sosial,  Jakarta : PT Raja Gtafindo Persada, 1995
Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2011.
Syariffudin, Amir, Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2008.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr,tt.
Zaidan, Abdul Karim, Al Wajiz fi Ushul Fiqh. Baghdad: Muasasah Al Risalah, 1976.






[1] Amir Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal.51
[2] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr,tt), hal. 26
[3] Amir Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 55
[4] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal.30-34

[5] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal. 36-40

[6] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),hal. 142
[7] Amir Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 131
[8] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal.40
[9] Amir Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 132
[10] Amir Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 136-137
[11] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),hal. 147
[12] Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz fi Ushul Fiqh, (Baghdad: Muasasah Al Risalah, 1976),hal. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar