HUKUM SYARA’
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Amin Farih M.Ag
Oleh:
Siti Munawaroh (133511026)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia di ciptakan oleh Allah SWT dengan bentuk yang baik dan
berbeda-beda, baik segi pemikiran, fisik dan lainnya. Dalam kehidupan
bermasyarakat manusia tentunya ingin mendapat ketentraman dan kenyamanan. Maka
di perlukan suatu aturan atau norma yang mengatur tata kehidupan manusia yang
di ambil dari ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, Allah telah menurunkan
ketentuan-ketentuan untuk mengatur hidup manusia, baik masalah agama maupun
bermasyarakat agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Fungsi hukum telah di nyatakan tegas oleh Allah dalam surat An Nisa
ayat 105 :
yang artinya;
“ Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.”
Disini penulis akan
memaparkan materi tentang salah satu hukum yang ada dalam Islam yaitu hukum
syara’ (hukum (peraturan) yang mengatur tingkah laku manusia untuk menuju jalan
Allah).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian hukum syara’?
2.
Bagaimana
pembagian hukum syara’?
3.
Siapakah
yang menjadi pembuat hukum (Hakim)?
4.
Apa
saja yang menjadi objek hukum (Mahkum
Bih)?
5.
Siapakah
yang menjadi subjek hukum (Mahkum Alaih)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah kata majemuk
yang tersusun dari kata “Hukum” dan “Syara’ ”. Kata hukum berasal dari
bahasa Arab yang berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Secara
istilah kata hukum berarti seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang di tetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku
dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kata syara’ secara etimologi
berarti jalan, jalan yang biasa dilalui air. Secara terminologi syara’ adalah
suatu jalan yang dilalui hanya menuju pada Allah SWT. [1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah peraturan yang di buat oleh
suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak,
yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.
Di dalam kamus ushul fiqih syara’ (syari’) di artikan dzat yang
menetapkan hukum secara deklaratif di susun untuk kehidupan individu dan
masyarakat di dunia.
Jika kedua kata tersebut dirangkai menjadi hukum syara’ dapat
di artikan sebagai seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk
semua umat yang beragama islam.
حكم شرعى هوخطا ب الله المتعلق بافعل المكلفين
بالاقتضاء اوالتخيير او الوضع
“Hukum Syar’i adalah khitab Allah yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukalaf
yang berupa tuntutan (perintah dan larangan), anjuran untuk melakukan, atau
anjuran untuk tidak melakukan. Atau takhyiri (kebolehan untuk memilih antara
melakukan atau tidak melakukan), atau wadh’i (menetapakan sesuatu)”[2]
Menurut ahli fiqih hukum syara’ adalah khitab (titah) Allah
yang menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tuntutan,
ketentuan-ketentuan dan pilihan berbuat
atau tidak.
B.
Pembagian Hukum Syara’
Menurut ahli ushul fiqih baik yang klasik maupun kontemporer
membagi hukum syara’ menjadi dua, yaitu:
1.
Hukum
Taklifi
Hukum taklifi yaitu titah Allah yang berhubungan dengan
tuntutan dan pilihan berbuat, yang terinci dalam hukum wajib, nadab, mubah,
makruh, dan haram. Dinamakan dengan hukum taklifi karena tuntutan disini
berkenaan dengan perbuatan mukalaf yang melaksanakannya.[3]
Hukum taklifi di bagi menjadi lima macam yaitu:[4]
a)
Wajib
Wajib
yaitu khitab syara’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang pasti. Orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan mendapat
pahala, jika meninggalkannya akan mendapat dosa atau siksa, misalnya kewajiban
sholat.
Diliahat dari segi pelaksanaannya,
wajib di bagi menjadi dua yaitu wajib mutlaq (kewajiban yang tidak dibatasi
dengan waktu tertentu) dan wajib muaqqat (kewajiban yang pelaksanaanya di
batasi oleh waktu tetentu).
b)
Mandhub
Mandhub atau disebut juga dengan sunah yaitu khitab syara’ yang
menuntut agar dilakukan suatu perbuatan, dengan tuntutan yang tidak harus
dikerjakan. Orang yang melakukan perkara yang sunah akan mendapat pahala, dan
jika meninggalkannya tidak mendapat dosa. Misalnya puasa senin kamis.
Menurut Abdul Karim, mandhub di bagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1)
Mandhub/
sunah muakadah (sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan Rosulullah,
dan jarang ditinggalkannya, seperti sholat sunah dua rakaat sebelum fajar.
2)
Mandhub/
Sunah ghoiru muakadah (biasa), yaitu suatu perbuatan yang dilakukan Rosulullah,
namun bukan menjadi kebiasaan, seperti sholat sunah 2 kali 2 rakaat sebelum sholat
dhuhur.
3)
Mandhub/
sunah al zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rosulullah sebagai
manusia, seperti sopan santun dalam makan, minum dan tidur.
c)
Haram
Haram adalah khitab syara’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Orang yang melakukan perkara haram akan
mendapat dosa atau siksa, jika meninggalkannya akan mendapat pahala, misalnya
membunuh.
Haram terbagi menjadi dua macam yaitu:
1)
Haram
lidzatih, yaitu sesuatu yang keharaman melakukannya telah di tetapkan oleh
syara’ sejak semula, sebab mengandung kemudharatan, seperti larangan zina.
2)
Haram
lighoirih, yaitu sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syara’ keharamannya, jual
beli dengan menipu.
d)
Makruh
Makruh yaitu khitab syara’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Orang yang
melakukan perkara makruh tidak mendapat dosa, sedang orang yang meninggalkannya
mendapat pahala.
Menurut ulama Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)
Makruh
tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, seperti meminang wanita yang
sedang dalam pinangan orang lain.
2)
Makruh
tanzih, yaitu sesutu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
Misalnya memakan daging dan susu kuda diwaktu perang, karena sesungguhnya memakan
daging kuda menurut ulama hanafiyah adalah haram, tapi karena dalam kedaan
perang, hukumnya menjadi makruh.
e)
Mubah
Mubah yaitu khitab syara’ yang mengandung hak pilihan bagi orang
mukalaf, antara mengerjakan dan meninggalkannya. Orang melakukan perkara mubah
maupun meninggalkannya tidak mendapat pahala dan dosa, misalnya berburu setelah
haji.
2.
Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu titah Allah yang tidak langsung dengan
perbuatan mukalaf tetapi berisi ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan
mukalaf.
Hukum wadh’i terbagi menjadi 3 macam, yaitu sebab, syarat
dan mani’. Akan tetapi sebagian ulama Ushul fiqh mengatakan bahwa hukum wadh’i
terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani’, Rukshoh dan azimah. Ada
juga yang membagi hukum wadh’i menjadi 7 macam. Berikut ini akan di
paparkan 7 macam wadh’i tersebut yaitu:[5]
a)
Sabab
Menurut para ahli fiqih sabab adalah sesuatu yang jelas, dapat
diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan
adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Misalnya masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya
kewajiban puasa ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang jelas dan
dapat diukur, apakah bulan Ramadhan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan
Ramadhan disebut sebab, sedangkan datangnya kewajiban berpuasa disebut musabab
atau hukum (akibat).
b)
Syarat
Menurut bahasa syarat berarti sesuatu yang menghendaki sesuatu yang
lain atau sebagai tanda. Menurut istilah Abdul Karim mendefinisikan syarat
adalah sesuatu yang tergantung kepada adanya sesuatu yang lain, dan berada di
luar hakikat sesuatu itu. Misalnya syarat sholat adalah wudhu, wudhu bukan
masuk pada hakikat sholat karean sholat di mulai dari takbiratul ihram sampai
salam.
c)
Mani’
Mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Sedangkan
menurut terminologi mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Misalnya akad nikah menjadi sebab waris mewarisi, dan waris menjadi terhalang
karena pembunuhan, sehingga membunuh menjadi penghalang bagi seseorang untuk
saling mewarisi.
d)
Rukshoh
Rukshoh yaitu ketentuan yang di syariatkan oleh Allah sebagai
peringan terhadap seorang mukalaf dalam hal-hal yang khusus. Seperti memakan
bangkai yang di haramkan, jika dalam keadaan dhorurot maka memakan bangkai itu
di perbolehkan.
e)
Azimah
Azimah yaitu peraturan syara’ asli yang berlaku umum, artimya di
syariatkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukalaf, dalam
keadaan yang biasa seperti kewajiban puasa Ramadhan.
f)
Shah
Shah adalah jika suatu perbuatan itu telah sesuai dengan tuntutan
syariat dan telah sempurna rukun dan syaratnya. Contohnya orang berpuasa yang
telah menahan diri dari makan dan minum sejak fajar sampai terbenamnya
matahari, maka puasanya dikatakan shah.[6]
g)
Bathal
Bathal dalam bahasa Indonesia disebut dangan istilah batal yaitu
kebalikan dari syah. Bathal juga mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam
bidang apa bathal itu digunakan :
1.
Bathal
digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam
kehidupan didunia.” Arti ini berbeda beribadat dalam muamalah dan akad. Arti bathal dam ibadat
adalah bahwa ibadat itu tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta
belum menggugurkan kewajiban qodho.
Ibadat dikatakan bathal jika menyalahi tujuan syar’i (pembuat
hukum) dalam menetapkan amalan itu. Menyalahi maksud syara’ itu kadang-kadang
mengenai materi ibadat itu sendiri seperti tidak cukup rukun dan syaratnya atau
terdapat mani’, kadang –kadang mengenai sifat luar yang terlepas darinya,
seperti solat yang dilakukan ditempat yang dirampas. Dalam bentuk yang terlepas
ini salat dipandang syah karena telah sesuai maksud syar’i.
Muamalat dikatakan bathal jika tidak tercapai arti atau faidah yang
diharapkan darinya secara hukum yaitu adanya peralihan hak milik atau
menghalalkan hubungan yang semula haram. Menurut biasanya hal-hal yang mengenai
muamalah atau akad itu menyangkut kepentingan didunia, oleh karenanya pembicaraan
disini memperhitungkan dua hal , pertama dari segi perbuatan itu termasuk
hal-hal yang di izinkan atau disuruh oleh syari’, kedua dari segi kembalinya
kepada kepentiingan hamba (manusia).
2.
Bathal
digunakan untuk “ tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si pelaku di akhirat
yaitu tidak menerima pahala. Tidak adanya bekas dari perbuatan bisa terjadi
dalam beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a.
Perbuatan
itu dilakukan tanpa sengaja, seperti perbuatan orang tidur.
b.
Perbuatan
itu dilakukan hanya semata-mata mencari tujuannya yaitu pahala.
c.
Perbuatan
itu dilakukan sesuai yang dikehendaki tapi dalam bentuk keterpaksaan.
d.
Perbuatan
itu dilakukan sesuai dengan yang dikehendaki dalam bentuk ikhtiyari seperti
seseorang melakukan suatu perbuatan mubah sesudah diketahuinya bahwa itu mubah,
hingga kalau sifatnya tidak mubah tentu tidak akan dilakukannya.[7]
C.
Pembuat Hukum (Hakim)
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum” ,
sedangkan secara terminologi dalam kajian ushul fiqih berarti pihak penentu dan
pembuat hukum syariat secara hakiki.[8]
Dalam pengertian Islam
pembuat hukum adalah Allah SWT. Dia telah menciptakan manusia di atas bumi,
menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia baik hubungannya untuk
kepentingan dunia maupun akhirat, menyangkut hubungan manusia dengan Allah,
maupun manusia dengan sesama makhluk hidup di sekitarnya.
Sebagaimana firman Allah, bahwa Dialah pembuat hukum satu-satunya
yang hakiki dari hukum syariat, surat Al An’am ayat 57
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari
Tuhanku], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling
baik".
Penamaan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum atau syara’
adalah “pembuat hukum” secara hakiki atau dalam arti sebenarnya, teoritis dan
praktis. Namun dalam kenyataanya, ditemukan pula pihak lain yang juga
menetapkan hukum yaitu nabi Muhammad sendiri dan para mujtahid. Nabi menetapkan
hukum syara’ baik dalam keadaan yang mandiri di luar yang ditetapkan Allah atau
dalam sifat penjelas terhadap hukum yang di tetapkan Allah. Mujtahid pun secara
praktis menetapkan hukum melalui hasil ijtihadnya dengan berpedoman kepada
hukum yang ditetapkan Allah. Keduanya dapat pula disebut pembuat hukum atau
syari’ dalam arti majazi atau bukan dalam arti sebenarnya. Nabi disebut syari’
dalam arti penjelas terhadap hukum syara’ dan mujtahid disebut syari’ dalam
arti penemu atau perumus hukum syara’.[9]
D.
Objek Hukum (Mahkum Bih)
Objek hukum atau mahkum bih yaitu sesuatu yang di kehendaki
oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau di
biarkan oleh pembuat hukum untuk di lakukan atau tidak. Dalam istilah ulama
ushul fiqih objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek
hukum adalah perbuatan itu sendiri , hukum itu berlaku pada perbuatan bukan
pada dzat. Misalnya “daging babi”, pada daging babi itu tidak berlaku hukum
baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan
daging babi” yaitu suatu perbuatan memakan buat pada dzat daging itu.[10]
Mahkum Bih bisa juga di artikan sebagai perbuatan mukalaf yang
berhubungan dengan hukum syara’, misalnya seperti kewajiban memenuhi janji.[11]
E.
Subjek Hukum (Mahkum Alaih)
Mahkum alaih ialah orang-orang mukalaf yang dibebani hukum.
محكم عليه هو الشخص الذي تعلق خطاب الشارع بفعله ويسميه
“Mahkum Alaih adalah orang-orang yang
berhubungan dengan khitob syariat dalam perbuatan dan tingkah lakunya”[12]
Adapun syarat sahnya seorang mukalaf menerima beban hukum itu ada
dua macam, yaitu:
1.
Memahami
atau mengetahui titah Allah yang menyatakan bahwa seseorang terkena tuntutan
dari Allah, yang terkandung dalam al Quran dan as Sunah.
2.
Mempunyai
kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi seorang mukalaf adalah
akal dan pemahaman.
Kemampuan
seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak oleh para ulama ushuliyyun
di bagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Ahliyatul
wujub, yaitu kepantasan seseorang umtuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan
ini ada pada setiap manusia.
2.
Ahliyatul
ada’, yaitu kepantasan seseorang untuk di pandang syah segala perkataan dan
perbuatannya.
Namun demikian
ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk melaksanakan hak dan
kewajiban, tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua
itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi yang disebut dengan awaridh
ahliyah.
Awaridh ahliyah
ada dua macam, yaitu pertama samawiyah (hal yang berada di luar usaha dan
ikhtiar manusia) seperti gila, tidur, menstruasi, nifas, meninggal dan
sebagainya. Kedua, Kasabiyah (perbuatan yang di usahakan manusia yang
menghalangi atau mengurangi kemampuan bertindak) seperti mabuk.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum syara’ adalah
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
islam.
Menurut ahli ushul fiqih baik yang klasik maupun kontemporer
membagi hukum syara’ menjadi dua, yaitu:
1.
Hukum
Taklifi yaitu titah Allah yang berhubungan dengan tuntutan dan pilihan
berbuat, yang terinci dalam hukum wajib, nadab (mandhub), makruh, mubah dan
haram.
2.
Hukum Wadh’i yaitu titah Allah yang
tidak langsung dengan perbuatan mukalaf tetapi berisi ketentuan yang berkaitan
dengan perbuatan mukalaf. Ulama Ushul fiqh mengatakan bahwa hukum wadh’i terbagi
menjadi 7 macam yaitu sebab, syarat, mani’, Rukshoh, azimah, shah, bathal.
Hakim adalah pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki
(Allah SWT).
Mahkum Bih yaitu perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum
syara’, misalnya seperti kewajiban memenuhi janji.
Mahkum alaih ialah orang-orang mukalaf yang dibebani hukum. Adapun
syarat sahnya seorang mukalaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yaitu:
1.
Memahami
atau mengetahui titah Allah yang menyatakan bahwa seseorang terkena tuntutan
dari Allah, yang terkandung dalam al Quran dan as Sunah.
2.
Mempunyai
kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi seorang mukalaf adalah
akal dan pemahaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta
: Amani, 2000.
Aripin, Jaenal,
Kamus Ushul Fiqh dalam Dua Bingkai Ijtihad, Jakarta : Kencana, 2012.
Effendi,
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2014.
Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Mardani, Ushul
Fiqh, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT Raja Gtafindo Persada, 1995
Shidiq,
Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2011.
Syariffudin, Amir, Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2008.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr,tt.
Zaidan,
Abdul Karim, Al Wajiz fi Ushul Fiqh. Baghdad: Muasasah Al Risalah, 1976.
[1] Amir
Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal.51
[2] Muhammad Abu
Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr,tt), hal. 26
[3] Amir
Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 55
[4] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal.30-34
[5] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal. 36-40
[6]
Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),hal. 142
[7]
Amir
Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 131
[8] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal.40
[9]
Amir
Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 132
[10] Amir
Syariffudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2008), hal. 136-137
[11] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),hal. 147
[12] Abdul Karim
Zaidan, Al Wajiz fi Ushul Fiqh, (Baghdad: Muasasah Al Risalah, 1976),hal.
87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar