MAKAM SUNAN KATONG DESA PROTOMULYO KECAMATAN KALIWUNGU SELATAN
A.
Sejarah
Sunan Katong di Kaliwungu
Sunan
dalam budaya suku-suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang diagungkan
dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Kata ini
merupakan penyingkatan dari susuhunan. Pada periode sejarah Jawa pra-Islam
gelar ini jarang dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal-awal
masuknya Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar
agama Islam, khususnya di tanah Jawa.
Kisah
mengenai Sunan Katong banyak dituturkan oleh sesepuh desa Protomulyo, Kaliwungu
Selatan, Kabupaten Kendal. Salah satunya dari bapak Kometullah yang merupakan
wakil dari juru kunci makam Sunan Katong. Ayah beliau, bapak KH. Sunoto meninggal
setahun yang lalu, sehingga kini yang menggantikan juru kunci beliau selaku
wakilnya.
Beliau
menuturkan bahwa nama Sunan Katong (aslinya Abdullah/nunggak semi) diambil dari
nama kakeknya yang berasal dari Ponorogo, yaitu Bathara Katong. Adapun silsilahnya
yaituPrabu Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V berputera Bhatara Katong. Dan
Bhatara Katong berputera seorang puteri yang menjadi istri Adipati Unus atau
Suryapati Unus putera Raden Fatah. Dari Perkawinan itu, lahir Kyai Katong, dan
kemudian terkenal dengan nama Sunan Katong.
Kedatangan
Sunan Katong ke Kaliwungu merupakan suatu tugas dari gurunya Ki Pandan Arang
untuk menyiarkan Agama Islam ke arah barat dengan ditunjukkan dan diberi
isyarat yaitu pada suatu tempat dimana ada sebuah pohon ungu yang condong ke
sungai. Ki Ageng Pandan Arang juga berpesan pada Sunan Katong bahwa untuk lebih
mendalami ilmu-ilmu agama serta mengamalkannya, Sunan Katong juga dinasihati
harus bisa mencari telapak kuntul melayang atau telapak burung Kuntul terbang
berada di daerah yang terdapat “pohon yang condong ke sungai”. Di tempat itulah
Sunan Katong diperintahkan membuka perguruan sebagai pusat penyebaran Agama
Islam.
Perjalanan
Sunan Katong ke arah barat sebagaimana pesan gurunya untuk mencari tempat yang
tumbuh sebuah pohon ungu yang condong ke sungai. Mungkin sudah merupakan
kehendak takdir. Ketika Sunan Katong istirahat pada suatu tempat/di pinggir
sungai, ia tertidur, dan setelah bangun dilihatnya ada sebuah pohon sebagaimana
yang dimaksud oleh gurunya. Disitulah Sunan Katong mengucapkan dua kata “Kali
Ungu”. Sedangkan sungainya disebut oleh banyak orang dengan nama “Kali Sarean”.
Dan tempat itulah yang dikemudian hari terkenal dengan nama Kaliwungu.
Melihat
keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal/Kaliwungu memberi pengertian
bahwa di wilayah itu dulu menjadi pusat pemerintahan agama Hindu/Budha.
Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu.
Nama-nama itu antara lain; Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan,
Katemenggungan Sepuh dan Kandangan. Patih, Ronggo, Tumenggung, Demang,
Kenduruwan adalah perangkat pemerintahan Majapahit, yang disebut Sapta
Riwilwatika. Sedangkan Kandangan adalah Sameget Sapta Upapati. Hakim pemutus
perkara yang jumlahnya tujuh ; Kandangan, Pamotan, Panjang Jiwa, Andamohi,
Manghuri dan Jamba. Dengan demikian tidak berlebihan bila Kaliwungu dulunya
sebuah Kadipaten Majapahit.
Sedangkan
kapan Sunan Katong datang di Kaliwungu-Kendal, memang tidak ada catatan yang
jelas. Namun jika dipahami dengan berdasarkan dengan peristiwa yang terjadi
pada masa itu, dan kemudian menghubungkannya dengan berdasar analisa rasional,
maka kedatangan Sunan Katong ini akan bisa diketahui. Data-data itu berhubungan
erat dengan penyerangan Kerajaan Islam Demak terhadap bangsa Portugis yang
telah menguasai Malaka dan Sunda Kelapa
(antara tahun 1511 atau 1527).
Kalau
diperhatikan di mana tempat Sunan Katong mengamalkan ilmunya, ternyata
menempati daerah yang agak tinggi, yaitu di perbukitan Penjor yang bentuknya
seperti burung kuntul melayang, yaitu di perbukitan Protomulyo sekarang ini,
dan sebagian arealnya dijadikan pemakaman raja-raja Mataram, baik dari tanah
Yogyakarta maupun Surakarta. Daerah perbukitan Penjor yang juga dinamakan bukit
kuntul melayang itu, kalau dipandangi secara cermat memang seperti bentuk
seekor burung yang sedang terbang menghadap ke arah barat. Rasanya memang aneh,
dan mungkin itu sudah kehendak Tuhan. Dikemudian hari perbukitan itu disebut
dengan Astana Kuntul Nglayang. Disebut demikian karena pada akhirnya bukit itu
menjadi istana terakhir para leluhur Kaliwungu atau tempat peristirahatan
terakhir para leluhur.
B.
Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam penyebaran Islam di Kaliwungu
Bhatara
Katong atau Sunan Katong bersama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat
di pegunungan Penjor atau pegunungan Telapak “kuntul melayang”. Ada tiga tokoh
penyebar agama Islam di wilayah Kaliwungu-Kendal mereka adalah Bhatara Katong
atau Sunan Katong atau Kyai Katong, Wali Joko, dan Kyai Gembyang atau Wali
Gembyang atau Raden Gembyang atau Jaka Gembyang. Diantara sentral sejarahnya
ada pada diri Sunan Katong yang makamnya di Astana Kuntul Melayang, Protomulyo
Wetan Kaliwungu. Itupun banyak diwarnai dengan cerita tutur.
Adapun
tokoh-tokoh yang pernah menyebarkan islam di Kaliwungu dikuburkan di pamakaman
Astana Kuntul Layang yang terdiri atas
lima bagian utama yang dianalogikan sebagai bagian dari burung kuntul (bangau)
yang sedang melayang. Bagian pertama adalah dada yang merupakan cungkup
kompleks makam Sunan Katong (ulama yang diyakini tertua di Kaliwungu) serta
para Bupati Kendal. Bagian kedua adalah sayap kanan yang merupakan kompleks
cungkup makam Kyai Musyafak, Kyai Rukyat serta Kyai Mustofa. Bagian berikutnya
adalah sayap kiri, yang merupakan kompleks makam Kyai Mandurorejo, Pangeran
Puger dan Kyai Asy’ari (Kyai Guru). Sedangkan bagian ekor merupakan kompleks
makam Pakuwojo, serta bagian kepala kompleks makam Pangeran Djoeminah (leluhur
bupati Kaliwungu) dan para bupati Kaliwungu.
C.
Ajaran
Sunan Katong
Misi
Sunan Katong adalah untuk membuka daerah baru dan mendirikan sebuah padepokan
untuk mengajarkan ajaran Islam dan menyebarkan atau mengislamkan masyarakat
Kaliwungu yang dulunya mengikuti faham politeisme, penyembah berhala, adanya
dewa-dewa atau percaya kepada banyak Tuhan, faham ini tentunya bertentangan
dengan ajaran Islam yang percaya kepada Yang Maha Tunggal. Beliau menyerukan
kepada manusia agar menyembah Dzat Yang Maha Tunggal (Allahu Ahad), agar
manusia menyembah kepada Dzat yang tidak beranak dan tidak diberanakkan (Lam
Yalid Wa Lam Yuulad). Tentunya seruan ini dilakukan dengan penuh santun dan
bijaksana, karena ajaran yang dibawanya merupakan ajaran yang membawa manusia
pada rahmatan lil alamin, yang membawa dari jalan kegelapan kepada jalan yang
terang.
Kepadanya
memang diberikan derajat auliya atau wali, sebuah derajat bagi seorang yang
beriman yang telah mencapai tingkat kesempurnaan (Ma’rifat). Sunan Katong
memang sudah mencapai tingkat keimanan yang ma’rifat. Maka tidak heran apabila
Sunan Katong dianugerahi oleh Allah SWT. sesuatu yang lebih, dan disebutnya
dengan karomah. Derajat kewalian yang melekat pada dirinya ketika masih hidup,
tetap melekat pada dirinya, meskipun beliau sudah meninggal dunia. Dalam
ajarannya, baik akhlak, tirakat (puasa), toriqoh(dzikir) tidak terlepas dari Al
quran dan Hadist.
D.
Tradisi
di Makam Sunan Katong
Adapun
tradisi yang masih dibudidayakan masyarakat Kaliwungu adalah
1. Ziarah
Kubur
Tradisi ini dilakukan setiap hari.
Biasanya peziarah dari dalam maupun luar kota datang dengan tujuan
masing-masing. Diantaranya untuk
menandakan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap Sunan Katong dan
tokoh-tokoh penyiar agama Islam di wilayah Kaliwungu yang telah berjuang dalam
mengajarkan agama Islam. Juga sebagai wujud rasa cinta terhadap Sunan Katong
dan para tokoh penyebar agama Islam dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
2. Syawalan
Pada mulanya Syawalan berasal dari
sebuah peringatan meninggalnya (Khoul) ulama besar Kaliwungu, Kyai Asy’ari
(Kyai Guru) dengan cara me-ziarahi kuburnya setiap tanggal 8 Syawal, setiap
tahun. Awalnya kegiatan ziarah mengirim doa di makam Kyai Asy’ari ini hanya
dilakukan oleh keluarga dan keturunan Kyai Asy’ari, tetapi lama kelamaan
diikuti oleh masyarakat muslim di Kaliwungu dan sekitarnya. Akhirnya, kegiatan
itu terjadi setiap tahun, bahkan objek lokasi ziarah melebar bukan hanya kepada
makam Kyai Asy’ari atau “Kyai Guru”, akan tetapi juga ke makam Sunan Katong,
Pangeran Mandurarejo, seorang Panglima Perang Mataram, dan Pangeran Pakuwaja.
Para peziarah merambah juga berziarah ke makam Kyai Mustofa, Kyai Musyafa’, dan
Kyai Rukyat.
3. Sedekah
Bumi
Sedekah bumi sebagai peringatan
meninggalnya Sunan Katong pada bulan rajab. Dalam tradisi ini selain mendoakan
Sunan Katong, masyarakat membawa makanan. Entah itu nasi engkung atau
buah-buahan. Setelah didoakan, barulah makanan dapat dinikmati bersama-sama.
Nama
Sunan Katong (aslinya Abdullah/nunggak semi) diambil dari nama kakeknya yang
berasal dari Ponorogo, yaitu Bathara Katong. Adapun silsilahnya yaitu Prabu
Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V berputera Bhatara Katong. Dan Bhatara Katong
berputera seorang puteri yang menjadi istri Adipati Unus atau Suryapati Unus
putera Raden Fatah. Dari Perkawinan itu, lahir Kyai Katong, dan kemudian
terkenal dengan nama Sunan Katong.
Kedatangan
Sunan Katong ke Kaliwungu merupakan suatu tugas dari gurunya Ki Pandan Arang
untuk menyiarkan Agama Islam ke arah barat dengan ditunjukkan dan diberi
isyarat yaitu pada suatu tempat dimana ada sebuah pohon ungu yang condong ke
sungai. Setiap ajarannya mengacu pada Al quran dan Hadist. Kini, tradisi yang
berada di Kaliwungu berkembang, yakni meliputi ziarah, syawalan, dan sedekah
bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar